Superhero, Bagus atau Buruk untuk Anak
Atau pernah nggak sih membaca komik superhero yang berisikan sang karakter membasmi sang penjahat?
Pernah nggak berfikir, sebenarnya bagus tidak sih karakter superhero untuk perkembangan otak anak? Atau hanya merusak sifat asli sang anak?
Superman, spiderman, batman, pasti nama-nama yang sangat familiar di telinga kita. Anak-anak jaman sekarang pasti sangat tahu setiap detil dari karakter tersebut. Lalu munculah pemikiran anak tentang ,"Aku ingin sekali menjadi SPIDERMAN! bisa bertarung dan menyelamatkan kota!" atau, "Aku ingin sekali menjadi SUPERMAN bisa terbang ke langit dan menyelamatkan seisi dunia!".
Karakter superhero tersebut bisa sangat menginspirasi anak anak dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tapi apa bagus untuk masa depan sang anak? seperti
- Tingkah laku mereka: saat mereka bermain dengan teman seumurnya pasti ia akan berandai-andai untuk menjadi superhero yang digemarinya.
- Pakaian mereka : mereka senang sekali memakai kaos/baju yang bergambar Superhero idolanya
- Mainan-mainan mereka:anak-anak pasti punya banyak mainan superhero yang di idolakannya.
Sebagai orang tua pasti kita ingin sang anak menjadi apa yang ia inginkan. Apalagi bisa memilih cita-cita sebagai orang sukses di masa depan. Namun apabila sang anak bersikeras menjadi superhero bagaimana?
Sebuah studi mengungkap film bertemakan kepahlawanan justru menyodorkan contoh yang buruk bagi anak laki-laki seperti mengajarkan kekerasan dan balas dendam sebagai jalan hidup.Selain itu, sosok pahlawan yang memukuli penjahat mungkin bukan cara yang terbaik bagi masyarakat yang ingin mempromosikan naluri melindungi laki-laki kepada anak kecil.
Peneliti menyimpulkan berbeda dengan tokoh kepahlawanan masa lalu yang cenderung manusiawi seperti melakukan pekerjaan sebagai manusia biasa dan percaya pada keadilan sosial, sementara tokoh kepahlawanan era Hollywood adalah sosok yang agresif, emosional, sinis dan jarang berbicara tentang keutaman berbuat baik bagi kemanusiaan. Tokoh kepahlawanan zaman sekarang lebih banyak menggunakan aksi kekerasan guna menghadirkan identitas diri sebagai pembela kebenaran. Sebaliknya, tokoh pahlawan masa lalu tidaklah melawan penjahat melainkan layaknya masyarakat awam yang memiliki banyak masalah dan rapuh, namun bijak dalam menyelesaikan masalah.
Dari hasil penelitian menyimpulkan pasar film dan mainan tahu betul bahwa anak-anak yang tengah mengalami pertumbuhan membutuhkan sosok yang ditiru. Sosok itu memotivasi mereka dalam membentuk identitas mereka di masa remaja. Celakanya, identitas yang dibentuk merupakan versi sempit dari maskulinitas. "Mereka (anak-anak) nantinya bakal menjadi pemain atau seorang pemalas, sosok yang tidak pernah mencoba untuk menyelamatkan mukanya sendiri" ungkap Dr Sharon Lamb, peneliti asal University of Massachusetts.
Film mengajarkan kepada anak-anak, apakah mereka akan menjadi sosok pahlawan atau pemalas. Anak-anak, kemudian berkata bila dirinya tidak menjadi pahlawan maka ia akan menjadi seorang yang pemalas. Pemalas memang lucu, tapi pemalas tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, pemalas tidak menyukai sekolah dan mereka cenderung mengabaikan tanggung jawab.
Karena itu, disarankan agar pihak orang tua maupun para pendidik bisa memagari anak dari persepktif sempit tentang kepahlawanan. Sebab pahlawan zaman sekarang hanya berpikir tentang diri mereka sendiri. Mereka (anak-anak) perlu diajarkan sejak dini untuk menjauhkan diri dari perspektif sempit macam itu dan mendorong mereka untuk menemukan kebenaran sosok seorang pahlawan sehingga membantu mereka membentuk identitas yang sewajarnya.
Sebuah studi mengungkap film bertemakan kepahlawanan justru menyodorkan contoh yang buruk bagi anak laki-laki seperti mengajarkan kekerasan dan balas dendam sebagai jalan hidup.Selain itu, sosok pahlawan yang memukuli penjahat mungkin bukan cara yang terbaik bagi masyarakat yang ingin mempromosikan naluri melindungi laki-laki kepada anak kecil.
Peneliti menyimpulkan berbeda dengan tokoh kepahlawanan masa lalu yang cenderung manusiawi seperti melakukan pekerjaan sebagai manusia biasa dan percaya pada keadilan sosial, sementara tokoh kepahlawanan era Hollywood adalah sosok yang agresif, emosional, sinis dan jarang berbicara tentang keutaman berbuat baik bagi kemanusiaan. Tokoh kepahlawanan zaman sekarang lebih banyak menggunakan aksi kekerasan guna menghadirkan identitas diri sebagai pembela kebenaran. Sebaliknya, tokoh pahlawan masa lalu tidaklah melawan penjahat melainkan layaknya masyarakat awam yang memiliki banyak masalah dan rapuh, namun bijak dalam menyelesaikan masalah.
Dari hasil penelitian menyimpulkan pasar film dan mainan tahu betul bahwa anak-anak yang tengah mengalami pertumbuhan membutuhkan sosok yang ditiru. Sosok itu memotivasi mereka dalam membentuk identitas mereka di masa remaja. Celakanya, identitas yang dibentuk merupakan versi sempit dari maskulinitas. "Mereka (anak-anak) nantinya bakal menjadi pemain atau seorang pemalas, sosok yang tidak pernah mencoba untuk menyelamatkan mukanya sendiri" ungkap Dr Sharon Lamb, peneliti asal University of Massachusetts.
Film mengajarkan kepada anak-anak, apakah mereka akan menjadi sosok pahlawan atau pemalas. Anak-anak, kemudian berkata bila dirinya tidak menjadi pahlawan maka ia akan menjadi seorang yang pemalas. Pemalas memang lucu, tapi pemalas tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, pemalas tidak menyukai sekolah dan mereka cenderung mengabaikan tanggung jawab.
Karena itu, disarankan agar pihak orang tua maupun para pendidik bisa memagari anak dari persepktif sempit tentang kepahlawanan. Sebab pahlawan zaman sekarang hanya berpikir tentang diri mereka sendiri. Mereka (anak-anak) perlu diajarkan sejak dini untuk menjauhkan diri dari perspektif sempit macam itu dan mendorong mereka untuk menemukan kebenaran sosok seorang pahlawan sehingga membantu mereka membentuk identitas yang sewajarnya.
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/koran-fesbuk/waspadai-film-superhero-juga-beri-contoh-buruk-pada-anak/468701624531
Comments
Post a Comment