Kajian Penataan Kawasan Pemukiman Kumuh (Peranan Perencanaan Fisik Pembangunan)
1.1.
Latar
Belakang
Seiring berjalannya pertumbuhan suatu negara, pertumbuhan
penduduk pun tidak bisa dihindari. Pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan urbanisasi
atau perpindahan penduduk dari desa ke kota. Masyarakat yang melakukan
urbanisasi memiliki tujuan
mencari penghasilan atau pekerjaan yang layak di kota. Dengan adanya urbanisasi ini kebutuhan akan tempat
tinggal pun mulai meningkat.
Hal ini akan berdampak pada kondisi lahan yang semakin padat.
Pertumbuhan
penduduk yang tinggi tanpa diimbangi dengan
penambahan
fasilitas, sarana, prasarana cenderung membentuk permukiman yang sangat padat.
Permukiman penduduk yang sangat padat memberikan peluang atau penyebab kondisi
lingkungan kota menjadi buruk. Kapasitas ruang yang ada tidak mampu melayani
rumah penduduk secara layak sehingga muncul permukiman kumuh.
Menurut Perserikatan Bangsa - Bangsa, proporsi
penduduk yang tinggal di daerah kumuh perkotaan menurun dari 47 persen menjadi
37 persen di negara berkembang antara 1990 dan 2005. Namun karena populasi
meningkat, jumlah penghuni kawasan kumuh meningkat. Satu miliar orang di
seluruh dunia tinggal di daerah kumuh dan angka ini akan mencapai 2 miliar
sampai 2030. Di Indonesia, menurut Kementrian Perumahan Rakyat permukiman kumuh
juga makin meluas dan terbukti pada 2009 sudah mencapai 57.800 hektar dari
kondisi pada 2004 hanya 54.000 hektar.
Kawasan permukiman kumuh
merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota-kota besar di Indonesia
bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Telaah tentang kawasan
permukiman kumuh (slum), pada umumnya mencakup tiga segi, pertama kondisi
fisiknya, kedua kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim di
permukiman tersebut, dan ketiga dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi fisik
tersebut antara lain tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan
kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras,
sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan
baik.
Penanganan
kawasan permukiman kumuh sesungguhnya perlu dilakukan tidak saja di
kawasan-kawasan permukiman kumuh yang menjadi bagian kota metropolitan dan atau
kota besar, tetapi juga perlu dilakukan di kawasan - kawasan permukiman kumuh
yang ada di kota sedang dan kecil. Penanganan kawasan permukiman kumuh di kota
besar, sedang, dan kota kecil menjadi cukup strategis manakala kawasan itu
memiliki kaitan langsung dengan bagian
- bagian kota
metropolitan seperti kawasan pusat kota metropolitan, kawasan pusat pertumbuhan
kota metropolitan, maupun kawasan-kawasan lain misalnya kawasan industri,
perdagangan, pergudangan, dan perkantoran. Selain memiliki kaitan langsung,
diduga kawasan permukiman kumuh di daerah penyangga memberi andil kesulitan
penanganan permukiman kumuh yang ada di kota metropolitan.
Keberadaan
lingkungan kawasan permukiman kumuh membawa permasalahan baru, seperti
perkembangan fisik kota yang tidak baik, memberikan efek visual yang jelek,
tingkat kesehatan masyarakat yang semakin rendah sebagai akibat dari kondisi
permukiman yang tidak sesuai dengan standar kesehatan dan memberikan dampak
sosial dan ekonomi masyarakat yang buruk.
Permasalahan
kawasan permukiman kumuh yang terjadi di setiap wilayah perlu segera dilakukan
penanganan sehingga tercapai suatu lingkungan permukiman yang sehat dan layak
huni serta berkualitas. Pentingnya penanganan permasalahan permukiman kumuh
ini, sejalan dengan apa yang ditegaskan dalam UU No. 4 Tahun 1992 tentang
perumahan dan permukiman bahwa penataan perumahan dan permukiman bertujuan
untuk (1) Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia,
dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan manusia; (2) Mewujudkan
perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman serasi
dan teratur.
Permasalahan
kawasan permukiman kumuh juga dialami
Kota Depok. Depok yang juga berperan sebagai kota
penyangga Jakarta, ternyata masih terdapat kawasan kumuh di dalamnya. Setiap
kecamatan di Depok mencoba mengurangi kawasan-kawasan kumuh melalui program
penataan kawasan kumuh dan juga peningkatan infrastruktur perkotaan. Sebagai kota
metropolitan, Pemerintah Kota Depok terus berupaya menekankan angka pemukiman
kumuh, seluas 132,72 hektar. Melalui program kota tanpa kumuh (Kotaku), tahun
ini ditarget 55,1 hektar bisa diselesaikan.
Berdasarkan data 2015, ada
132,72 hektar perumahan dan pemukiman kumuh di Kota Depok. Dengan Program Kotaku 11
wilayah pemukiman kumuh akan dibagi menjadi tiga penanganan di tentukan dari
luas wilayah. Pemerintah pusat akan menangani pemukiman kumuh dengan luas
wilayah diatas 15 hektar, pemerintah provinsi menangani 10 hingga 15 hektar,
sedangkan Pemkot Depok akan menangani kurang dari 10 hektar.
Pemkot
Depok akan menangani tujuh wilayah pemukiman kumuh. Di antaranya Kelurahan
Depok Jaya dengan luas 2,83 hektar, Kemiri Muka 1,38 hektar, Pondok Cina 3,35
hektar, Gandul 3,55 hektar, Bojong Pondok Terong 8,53 hektar, Cipayung Jaya
8,45 hektar, dan Cisalak Pasar 3,08 hektar.
Pemerintah
Provinsi akan menangani wilayah Kelurahan Cinere 12,13 hektar, dan Pemerintah
Pusat menangani Abadi Jaya 25,08 hektar, Kelurahan Depok 42,83 hektar, dan
Sukamaju Baru 21,51 hektar. Dibantu oleh
dinas terkait dalam penanganan pemukiman kumuh.
Dalam
hal ini, dibutuhkan penanganan yang bersifat multisektoral dan berkelanjutan
dengan menekankan pada Pendekatan Tridaya (pembangunan manusia, lingkungan dan
ekonomi), pengembangan prasarana dan sarana yang memadai, mengintegrasikan
seluruh kondisi dan aktivitas di perumahan dan permukiman kumuh dengan kegiatan
kota, mendorong peran pemerintah daerah dan masyarakat sebagai pelaku utama
penanganan lingkungan kawasan permukiman kumuh.
Dari latar belakang tersebut, muncul
keinginan peneliti untuk melakukan sebuah penelitian atau kajian mengenai Penataan Kawasan Pemukiman Kumuh,
tentang apakah sudah efektif pemerintah dalam menanggulangi Pemukiman Kumuh dari segi pandang masyarakat terhadap lingkungan
mereka sendiri. Apakah
sudah dikonsepsikan serta direncanakan dengan baik untuk jangka panjang
bangunan tua serta pemukiman kumuh yang di miliki Kelurahan Pondok Cina dikarenakan Kelurahan Pondok Cina merupakan salah
satu lingkungan bersejarah yang menentukan dapat terbentuknya Kota Depok itu
sendiri. Serta sudah siapkah masyarakat dengan perubahan yang dilakukan
oleh pemerintah kota atau daerah terhadap daerah yang mereka huni selama
bertahun-tahun.
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Pemukiman Kumuh
2.1.1.
Pengertian
Kumuh
Kumuh
adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang
rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata
lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas
yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan.
Kumuh
dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula ditempatkan sebagai akibat.
Ditempatkan di mana pun juga, kata kumuh tetap menjurus pada sesuatu hal yang
bersifat negatif (Clinard dalam Budiharjo, 1984). Pemahaman kumuh dapat
ditinjau dari :
1.
Sebab Kumuh
Kumuh adalah kemunduran
atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari
·
Segi fisik, yaitu
gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara
·
Segi masyarakat/ sosial,
yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti kepadatan lalu
lintas, sampah
2.
Akibat Kumuh
Kumuh adalah akibat
perkembangan dari gejala-gejala antara lain;
·
Kondisi perumahan yang
buruk
·
Penduduk yang terlalu
padat
·
Fasilitas
lingkungan yang kurang memadai
·
Tingkah laku menyimpang
·
Budaya kumuh
·
Apati dan isolasi
2.1.2.
Pengertian Kawasan Kumuh
Kawasan
kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan
tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai
dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan,
persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun
persyaratan kelengkapan prasarana
jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya.
2.1.3.
Karakteristik Kawasan Pemukiman Kumuh
Karakteristik
permukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Suparlan (1997) adalah:
1.
Fasilitas umum yang kondisinya
kurang atau tidak memadai
2.
Kondisi hunian
rumah dan permukiman serta penggunaan ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya
yang kurang mampu atau miskin.
3.
Adanya tingkat
frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang
ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang
dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4.
Permukiman kumuh
merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan
batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai:
·
Sebuah komuniti tunggal,
berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian
liar. Sebagai ruang terbuka, ruang ini berfungsi untuk mendapatkan udara segar
dari alam.
·
Satuan komuniti tunggal
yang merupakan bagian dari sebuah
·
RT atau sebuah RW.
·
Sebuah satuan komuniti
tunggal yang terwujud sebagai sebuah
RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar
5.
Penghuni permukiman kumuh
secara sosial dan ekonomi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian
dan tingkat kepadatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam
masyarakat permukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan
atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut.
6.
Sebagian besar penghuni
permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai
mata pencaharian tambahan di sektor informil
Sedangkan karakteristik
permukiman kumuh, seperti yang diungkapkan oleh Suparlan (1997) adalah:
1.
Keadaan rumah pada
permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6 m2/orang. Sedangkan
fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun
karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan
tersebut tak sulit mendapatkannya.
2.
Permukiman ini
secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah
(opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik
membeli atau menyewa. Manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja
dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas
tinggi.Hampir setiap orang tanpa syarat yang bertele-tele pada setiap saat dan
tingkat kemampuan membayar apapun, selalu dapat diterima dan berdiam di sana,
termasuk masyarakat “residu” seperti residivis, WTS dan lain-lain.
Kriteria Umum Permukiman Kumuh:
1.
Mandiri dan
produktif dalam banyak aspek, namun terletak pada tempat yang perlu dibenahi.
2.
Keadaan fisik
hunian minim dan perkembangannya lambat. Meskipun terbatas, namun masih dapat
ditingkatkan.
3.
Para penghuni
lingkungan permukiman kumuh pada umumnya bermata pencaharian tidak tetap dalam
usaha non formal dengan tingkat pendidikan rendah
4.
Pada umumnya
penghuni mengalami kemacetan mobilitas pada tingkat yang paling bawah, meskipun
tidak miskin serta tidak menunggu bantuan pemerintah, kecuali dibuka peluang
untuk mendorong mobilitas tersebut.
5.
Ada kemungkinan
dilayani oleh berbagai fasilitas kota dalam kesatuan program pembangunan kota
pada umumnya.
6.
Kehadirannya perlu
dilihat dan diperlukan sebagai bagian sistem kota yang satu, tetapi tidak semua
begitu saja dapat dianggap permanen.
Kriteria
Khusus Permukiman Kumuh:
1.
Berada di lokasi
tidak legal
2.
Dengan keadaan
fisik yang substandar, penghasilan penghuninya amat rendah (miskin)
3.
Tidak dapat
dilayani berbagai fasilitas kota
4.
Tidak diingini
kehadirannya oleh umum, (kecuali yang berkepentingan)
5.
Permukiman kumuh
selalu menempati lahan dekat pasar kerja (non formal), ada sistem angkutan yang
memadai dan dapat dimanfaatkan secara umum walau tidak selalu murah.
2.1.4.
Faktor-faktor
Penyebab Meningkatnya Jumlah Kawasan Kumuh
Penyebab adanya kawasan kumuh atau
peningkatan jumlah kawasan kumuh yang ada di kota menurut Suparlan (1997) adalah:
1.
Faktor ekonomi seperti
kemiskinan dan krisis ekonomi.
2.
Faktor bencana.
Faktor
ekonomi atau kemiskinan mendorong bagi pendatang untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik di kota-kota. Dengan keterbatasan pengetahuan, ketrampilan, dan
modal, maupun adanya persaingan yang sangat ketat di antara sesama pendatang
maka pendatang-pendatang tersebut hanya dapat tinggal dan membangun rumah
dengan kondisi yang sangat minim di kota-kota. Di sisi lain pertambahan jumlah
pendatang yang sangat banyak mengakibatkan pemerintah tidak mampu menyediakan
hunian yang layak.
Faktor bencana dapat pula menjadi salah
satu pendorong perluasan kawasan kumuh. Adanya bencana, baik bencana alam
seperti misalnya banjir, gempa, gunung meletus, longsor maupun bencana akibat
perang atau pertikaian antar suku juga menjadi penyebab jumlah rumah kumuh
meningkat dengan cepat.
2.1.5.
Masalah-masalah yang Timbul Akibat Permukiman Kumuh
Perumahan kumuh dapat mengakibatkan
berbagai dampak. Dari segi pemerintahan, pemerintah dianggap dan dipandang
tidak cakap dan tidak peduli dalam menangani pelayanan terhadap masyarakat.
Sementara pada dampak sosial, dimana sebagian masyarakat kumuh adalah
masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah
dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan terhadap
norma-norma sosial.
Terbentuknya pemukiman kumuh, yang
sering disebut sebagai slum area. Daerah ini sering dipandang potensial
menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya
berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial
lainnya.
Penduduk di permukiman kumuh tersebut
memiliki persamaan, terutama dari segi latar belakang sosial ekonomi-pendidikan
yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan adaptasi lingkungan (kota) yang
kurang memadai. Kondisi kualitas kehidupan yang serba marjinal ini ternyata mengakibatkan
semakin banyaknya penyimpangan perilaku penduduk penghuninya. Hal ini dapat
diketahui dari tatacara kehidupan sehari-hari, seperti mengemis, berjudi,
mencopet dan melakukan berbagai jenis penipuan. Terjadinya perilaku menyimpang
ini karena sulitnya mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian
dan kemampuan yang terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa
impian yang mereka harapkan mengenai kehidupan di kota tidak sesuai dan
ternyata tidak dapat memperbaiki kehidupan mereka.
Mereka pada umumnya tidak cukup
memiliki kamampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, disebabkan kurangnya
keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak menentu, rendahnya
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya adaptasi sosial
ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur, kekurangan dan
semakin memprihatinkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk hidup
seadanya, termasuk tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Permukiman kumuh umumnya di
pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota, perkampungan pinggir kota, dan
disekitar bantaran situ serta sungai
kota. Kepadatan penduduk di daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat
dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan asal daerah.
Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah kerja keras mencari nafkah
atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap bertahan hidup,
dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran. Sehingga
tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan,
solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang
diperhatikan.
Oleh karena para pemukim pada umumnya
terdiri dari golongan-golongan yang tidak berhasil mencapai kehidupan yang layak,
maka tidak sedikit menjadi pengangguran, gelandangan, pengemis, yang sangat
rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan berbagai tindak kejahatan,
baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat lingkungan
sekitanya. Kondisi kehidupan yang sedang mengalami benturan antara perkembangan
teknologi dengan keterbatasan potensi sumber daya yang tersedia, juga turut
membuka celah timbulnya perilaku menyimpang dan tindak kejahatan dari para
penghuni pemukiman kumuh tersebut. Kecenderungan terjadinya perilaku menyimpang
(deviant behaviour) ini juga diperkuat oleh pola kehidupan kota yang lebih
mementingkan diri sendiri atau kelompokya yang acapkali bertentangan dengan
nilai-nilai moral dan norma-norma sosial dalam masyarakat.
Perilaku menyimpang pada umumnya
sering dijumpai pada permukiman kumuh adalah perilaku yang bertentangan dengan
norma-norma sosial, tradisi dan kelaziman yang berlaku sebagaimana kehendak
sebagian besar anggota masyarakat. Wujud perilaku menyimpang di permukiman
kumuh ini berupa perbuatan tidak disiplin lingkungan seperti membuang sampah
dan kotoran di sembarang tempat. Kecuali itu, juga termasuk perbuatan
menghindari pajak, tidak memiliki KTP dan menghindar dari kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan, seperti gotong-royong dan kegiatan sosial lainnya. Bagi
kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa
mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan
umum, memutar blue film, begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan musik
keras sampai pagi, mencorat-coret tembok/bangunan fasilitas umum, dan
lain-lain. Akibat lebih lanjut perilaku menyimpang tersebut bisa mengarah
kepada tindakan kejahatan (kriminal) seperti pencurian, pemerkosaan, penipuan,
penodongan, pembunuhan, pengrusakan fasilitas umum, perkelahian, melakukan
pungutan liar, mencopet dan perbuatan kekerasan lainnya.
Keadaan
seperti itu cenderung menimbulkan masalah-masalah baru yang menyangkut:
1.
Masalah persediaan ruang
yang semakin terbatas terutama masalah permukiman untuk golongan ekonomi lemah
dan masalah penyediaan lapangan pekerjaan di daerah perkotaan sebagai salah
satu faktor penyebab timbulnya perilaku menyimpang
2.
Masalah
adanya kekaburan norma pada masyarakat migran di perkotaan dan adaptasi penduduk
desa di kota
3.
Masalah
perilaku menyimpang sebagai akibat dari adanya kekaburan atau ketiadaan norma
pada masyarakat migran di perkotaan. Disamping itu juga pesatnya pertumbuhan
penduduk kota dan lapangan pekerjaan di wilayah perkotaan mengakibatkan semakin
banyaknya pertumbuhan pemukiman-pemukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi
areal perkotaan tanpa penataan yang berarti.
Masalah yang terjadi akibat adanya
permukiman kumuh ini, khususnya dikota-kota besar diantaranya wajah perkotaan
menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban bangunan sukar dijalankan,
banjir, penyakit menular dan kebakaran sering melanda permukiman ini. Disisi
lain bahwa kehidupan penghuninya terus merosot baik kesehatannya, maupun sosial
kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh dibawah garis kemiskinan (Sri
Soewasti Susanto, 1974)
Secara umum permasalahan yang sering
terjadi di daerah permukiman kumuh adalah:
1.
Ukuran bangunan yang
sangat sempit, tidak memenuhi standard untuk bangunan layak huni
2.
Rumah yang berhimpitan
satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan akan bahaya kebakaran
3.
Sarana jalan yang sempit
dan tidak memadai
4.
Tidak tersedianya
jaringan drainase
5.
Kurangnya suplai air
bersih
6.
Jaringan
listrik yang semrawut
7.
Fasilitas
MCK yang tidak memadai
2.1.6.
Upaya Mengatasi Permukiman Kumuh
Kemiskinan merupakan salah satu
penyebab timbulnya pemukiman kumuh di kawasan perkotaan. Pada dasarnya
kemiskinan dapat ditanggulangi dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi
dan pemerataan, peningkatan lapangan pekerjaan dan pendapatan kelompok miskin serta
peningkatan pelayanan dasar bagi kelompok miskin dan pengembangan institusi
penanggulangan kemiskinan. Peningkatan pelayanan dasar ini dapat diwujudkan
dengan peningkatan air bersih, sanitasi, penyediaan serta usaha perbaikan
perumahan dan lingkungan pemukiman pada umumnya. Cara Mengatasi Permukiman
Kumuh:
1.
Program Perbaikan
Kampung, yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi kesehatan lingkungan dan
sarana lingkungan yang ada.
2.
Program uji coba
peremajaan lingkungan kumuh, yang dilakukan dengan membongkar lingkungan kumuh
dan perumahan kumuh yang ada serta menggantinya dengan rumah susun yang
memenuhi syarat.
Bentuk
Bentuk Peremajaan Kota Di Indonesia:
1.
Perbaikan lingkungan
permukiman.
Disini kekuatan
pemerintah/public investment sangat dominan, atau sebagai faktor tunggal
pembangunan kota.
2.
Pembangunan rumah susun
sebagai pemecahan lingkungan kumuh.
3.
Peremajaan yang bersifat
progresif oleh kekuatan sektor swasta seperti munculnya super blok (merupakan
fenomena yang menimbulkan banyak kritik dalam aspek sosial yaitu penggusuran,
kurang adanya integrasi jaringan dan aktifitas trafik yang sering menciptakan
problem diluar super blok). Faktor tunggalnya adalah pihak swasta besar.
Pemerintah
juga telah membentuk institusi yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas). Tugas Pokok dan Fungsi Bappenas diuraikan sesuai dengan Keputusan
Presiden Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 2002 tentang Organisasi dan tata kerja
Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, tugas pokok dan fungsi tersebut tercermin dalam struktur
organisasi, proses pelaksanaan perencanaan pembangunan nasional, serta
komposisi sumber daya manusia dan latar belakang pendidikannya. Dalam
melaksanakan tugasnya, Kepala Bappenas dibantu oleh Sekretariat Utama, Staf
Ahli dan Inspektorat Utama, serta 7 deputi yang masing-masing membidangi
bidang-bidang tertentu.
Yang di usahakan adalah: perkembangan
ekonomi makro, pembangunan ekonomi, pembangunan prasarana, pembangunan sumber
daya manusia, pembangunan regional dan sumber daya alam, pembangunan hukum,
penerangan, politik, hankam dan administrasi negara, kerja sama luar negeri,
pembiayaan dalam bidang pembangunan, pusat data dan informasi perencanaan
pembangunan, pusat pembinaan pendidikan dan pelatihan perencanaan pembangunan
(pusbindiklatren), program pembangunan nasional(propenas), badan koordinasi
tata ruang nasional, landasan/acuan/dokumen pembangunan nasional, hubungan
eksternal.
Perumahan
tidak layak huni adalah kondisi di mana rumah beserta lingkungannya tidak
memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik,
kesehatan maupun sosial, dengan kriteria antara lain:
1.
Luas lantai per kapita,
di kota kurang dari 4 m2 sedangkan di desa kurang dari 10 m2.
2.
Jenis atap rumah terbuat
dari daun dan lainnya.
3.
Jenis dinding rumah
terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses.
4.
Jenis lantai tanah
5.
Tidak mempunyai fasilitas
tempat untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK).
SITE PLAN
PERANAN PERENCANAAN FISIK
1.1. Peranan Pemerintah Daerah
Seiring berjalannya pertumbuhan suatu negara, pertumbuhan
penduduk pun tidak bisa dihindari. Pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan urbanisasi
atau perpindahan penduduk dari desa ke kota. Masyarakat yang melakukan
urbanisasi memiliki tujuan
mencari penghasilan atau pekerjaan yang layak di kota. Dengan adanya urbanisasi ini kebutuhan akan tempat
tinggal pun mulai meningkat.
Hal ini akan berdampak pada kondisi lahan yang semakin padat.
Kepala Seksi Perumahan dan Pemukiman Bidang Pemukiman dan Tata Bangunan
Distarkim Kota Depok, Suwandi, menjelaskan pada 2010 jumlah kawasan
kumuh di Kota Depok, berdasakan data Bappeda, mencapai 564,51 hektare.
Tetapi, pada 2014, melalui pemutakhiran data, kawasan kumuh berkurang
menjadi 147 hektare.
Pemerintah Kota Depok mencatat tak kurang dari dua ribu rumah di Depok
masuk kategori tidak layak huni. Pemerintah Kota (Pemkot) Depok sendiri
terus melakukan upaya perbaikan dalam program renovasi rumah tidak layak
huni.
Pemerintah kota depok mengucurkan dana sebesar Rp5,4 miliar untuk 300 rumah tidak layak huni
yang berada di 11 kecamatan, bila dibagi secara rata maka tiap rumah
mendapatkan Rp18 juta menurut Wali Kota Depok Idris Abdul Shomad.
Pembangunan terus dilakukan salah satu targetnya adalah Kelurahan Pondok Cina. Daerah ini merupakan daerah bersejarah yang menjadi salah satu pusat perhatian dulu namun sekarang menjadi salah satu masalah Penataan Kawasan Kumuh pada 2017 akan diimplementasi pembenahan kawasan pada daerah ini.
Untuk menjawab tantangan penyediaan rumah Pemerintah Depok akan mengupayakan rumah vertikal. Akan menjadi kajian setelah
mendapatkan tantangan untuk membangun rusun dari kementerian, sampai 36
lantai disampaikan oleh Wali Kota Depok Idris Abdul Shomad di Depok.
DAFTAR
PUSTAKA
Putro, Jawas Dwijo. 2011. Penataan Kawasan Kumuh Pinggiran Sungai di
Kecamatan Sungai Raya. Universitas Tanjungpura. Makassar. http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/1066-3361-1-PB.pdf. (diakses
pada 23 Januari 2017, pukul 11.05 WIB)
Aliyati, Ratu. 2011. Permukiman Kumuh di Bantaran Ci- Liwung
(Studi Kasus Kel Manggarai-Srengseng Sawah dan Kel Kampung Melayu - Kalisari). Universitas Indonesia. Depok. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20278141-T%2029034-Permukiman%20kumuh-full%20text.pdf.
(diakses pada 25 Januari 2017, pukul 23.12 WIB)
Depok News.
11/08/2015. Kawasan kumuh di Kota Depok
tinggal 147,3 hektare
http://www.depoknews.id/kawasan-kumuh-di-kota-depok-tinggal-1473-hektare/ (diakses pada 25 Januari 2017, pukul 20.15
WIB)
Siarandepok.
09/01/17. Tahun 2017 Pemkot Depok akan
rehab 55 Hektar Pemukiman Kumuh.
http://www.siarandepok.com/read/20170110/tahun-2017-pemkot-depok-akan-rehab-55-hektar-pemukiman-kumuh.html (diakses pada 25 Januari 2017, pukul 21.00
WIB).
Rindarjono,
Mohammad Gamal. 2010. Perkembangan
Permukiman Kumuh di kota Semarang Tahun 1980-2006.
http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/1467_RD1005003.pdf
(diakses pada 25 Januari 2017, pukul 21.39 WIB)
@puput0131.
2010. Makalah Permukiman Kumuh dan upaya
untuk mengatasinya
http://pou-pout.blogspot.co.id/2010/03/makalah-permukiman-kumuh-dan-upaya.html (diakses pada 25 Januari
2017, pukul
23.24 WIB)
Comments
Post a Comment